top of page
K! EVENT
Recent Posts
Search

Latihan Teknik Individu Berbasis Sepakbola

  • Writer: KickOff! Indonesia
    KickOff! Indonesia
  • Dec 16, 2014
  • 4 min read

10547452_10152930922429338_3278354392244225442_n.jpg

Topik terpanas di WEM South Africa 2014 adalah “Peningkatan Teknik Individu untuk Sepakbola”. Menjadi topik yang paling panas sebab ini merupakan topik yang diminta grup Expert dari hasil evaluasi WEM London 2013. Di samping itu, instruktur topik ini adalah Marcel Lucassen, penanggung jawab pelatihan teknik individu timnas junior Jerman di seluruh kelompok umur.

Empat belas tahun yang lalu, pasca-kegagalan total Timnas Jerman di Euro 2000, DFB melakukan revolusi besar-besaran. Perombakan berlaku bukan hanya terkait pada sistem dan struktur pembinaan, tetapi juga pada filosofi sepakbola. Sebelumnya, DFB fokus pada pemilihan pemain muda berpostur tinggi besar dengan kekuatan dan daya tahan. Sejak saat itu, DFB memprioritaskan pemain muda dengan teknik sepakbola mumpuni. Mathias Sammer, direktur teknik DFB saat itu, kemudian memakai jasa Lucassen untuk menangani area ini.

Hasil kerja signifikan langsung ditunjukkan Lucassen. Sejak Piala Dunia 2006, banyak bermunculan pemain muda Jerman yang berteknik prima. Pemain seperti Mesut Ozil, Sami Khedira, dan Toni Kroos adalah langganan timnas junior yang lama bekerja dengan Lucassen. Penulis sendiri amat penasaran dengan konsep peningkatan teknik individu ala Marcel Lucassen. Inilah rahasia tentang peningkatan teknik individu di level pembinaan elit.

Prinsip Sepakbola

Rasa penasaran penulis tentang model latihan Lucassen tak segera terjawab tuntas. Lucassen secara mengejutkan memulai presentasinya dengan penjelasan teoritis. Apa itu? Ya, lagi-lagi bahwa sepakbola adalah permainan tim "11 vs 11" yang terdiri dari menyerang, bertahan, dan transisi. Lalu pada tiap momen terdapat banyak AKSI yang merupakan produk dari KEPUTUSAN dan EKSEKUSI.

Teknik sepakbola hanyalah untuk menunjang terciptanya EKSEKUSI yang baik. Lucassen ingin mengingatkan seluruh peserta bahwa hierarki latihan teknik individu ada pada tingkatan yang nyaris paling bawah. Lalu, Lucassen ingin menekankan bahwa teknik individu adalah “bukan apa-apa” tanpa KEPUTUSAN baik (ditunjang oleh wawasan taktik), juga KOMUNIKASI berupa harmoni AKSI satu pemain dengan lain sebagai dasar membuat KEPUTUSAN dan AKSI.

Lucassen menjelaskan bahwa sepakbola adalah “result-oriented sport”. Misalnya, sebuah eksekusi teknikpassing dianggap sukses apabila dalam posisi, timing, arah, dan kecepatan yang tepat tiba di suatu target. Untuk menggapai passing sukses tersebut mungkin terdapat ratusan cara, tetapi itu tidaklah penting. Sebab penilaian sukses sebuah passing tidak ditentukan oleh “keindahan” atau “kebenaran” gerakannya, tapi pada pencapaian tujuannya.

Bandingkan dengan lompat indah sebagai “artistic oriented sport” misalnya. Atlet lompat indah “melompat untuk melompat”, bukan “melompat untuk mencebur ke air”. Kesuksesan dinilai dari “keindahan” dan “kebenaran” melompat, bukan dari tujuan mencebur ke air. Di sepakbola pemain bukan melakukan “passinguntuk passing”, melainkan “passing dengan posisi…, saat…, ke arah…, dengan kecepatan… supaya…”. Itu sebabnya sepakbola tak mengenal “teknik ideal”, melainkan “teknik fungsional”

Sepakbola adalah olahraga tim yang dilakukan selama 90 menit. Artinya seorang pesepakbola dituntut untuk melakukan rangkaian aksi yang beragam. Dalam melakukan eksekusi teknik passing, misalnya, pesepakbola memulainya pasti dengan aksi lain seperti mencipta ruang, mungkin control/dribbling/capping baru di-pass. Setelah passing pemain juga tidak mungkin langsung lakukan passing lagi. Pasti pemain lakukan mencipta ruang kembali. Semuanya terkait dengan pemain lain (kawan dan lawan).

Latihan Sepakbola

Berbagai penjelasan prinsip di atas menunjukkan bahwa Lucassen menggunakan pendekatan holistik sepakbola dalam memandang latihan teknik individu. Tak heran kemudian Lucassen dengan tegas menyatakan bahwa: “Bentuk latihan teknik individu terbaik adalah game 11 vs 11”. Persoalannya, terkadang bentuk latihan ini terlalu rumit untuk pemain dengan kaliber teknik tertentu.

Lucassen lalu ajukan penyederhanaan latihan dengan memainkan jumlah pemain. Misal game 10v10, 9v9, 8v8 hingga 1v1. Juga bentuk penyederhanaan seperti 11v10, 11v9, 11v8, 11v7 hingga 11v0. Atau model lain semisal 4v3, 4v2, 4v1 hingga 4v0. Bila segala alternatif tadi masih terlalu sulit, maka bentuk latihan perlu disederhanakan lagi hingga 3v0, 2v0, dan 1.

Kunci utamanya adalah analisa pelatih dalam permainan 11v11. Berbekal itulah, pelatih bisa memilih penyederhanaan yang pas untuk tiap pemain. Apakah model latihan misal 8v8 efektif untuk mebingkatkan teknik individunya atau di tingkat ekstrim pemain butuh latihan 1, yaitu ketika pemain berlatih tanpa kawan dan lawan. Meski demikian latihan 1 terus menerus tak membuat pemain jago 11v11. Kembali analisis pelatih dibutuhkan. Segera setelah pemain kuasai situasi 1, perlu dinaikkan tingkat kesulitan dengan model latihan lain.

Pelatih Individu = Pelatih Tim

Dalam praktiknya di timnas Jerman, Lucassen selalu memulai kerjanya dengan analisis video pertandingan. Dari situ, ia mengidentifikasi kesalahan menonjol yang dibuat suatu pemain secara berulang-ulang selama 90 menit. Hasil analisis tersebut kemudian dirumuskan dengan bentuk latihan yang pas untuk kebutuhan.

Lucassen juga mengedepankan teknik yang spesifik posisi. Setiap posisi memiliki tuntutan frekuensi aksi tertentu yang berbeda. Seorang sayap kanan tentu amat jarang melakukan passing ke kanan. Atau seorang kiper jarang melakukan penciptaan ruang jauh di depan gawangnya. Semua ini jadi pertimbangan Lucassen saat mberikan porsi latihan.

Pasca-sesi presentasi dan praktik Lucassen, penulis amat terkejut. Awalnya penulis berpikir impelementasinya berupa berbagai jenis latihan “canggih” dengan banyak cone untuk mengeksekusi gerakan berulang-ulang dengan pembenaran gerakan yang mendetail dan saklek. Ternyata, latihan peningkatan teknik individu pun harus berangkat dan tidak keluar dari permainan 11v11. Kesalahan kita adalah terlalu cepat melompat pada komponen teknik, kemudian melupakan konteks sepakbola itu sendiri.

Sesi Lucassen ditutup kesimpulan tangkas Raymond Verheijen. Saat latihan teknik harus berangkat dan tidak keluar dari 11v11, maka pelatih harus merefleksikan seberapa hebat kemampuannya dalam melatih 11v11. Tanpa kemampuan melatih 11v11 mumpuni, sulit bisa jadi pelatih individu mumpuni.

Raymond jelaskan bahwa di sepakbola banyak “badut” yang pura-pura jadi “pakar pelatihan individu” tanpa pengertian mendalam soal 11v11. Mereka menutupi ketidaktahuannya soal 11v11 dengan membuat sirkuit yang menggunakan banyak cone, tombak, dan lain-lain agar terlihat “canggih”. “Mereka memang hanya pengatur cone, bukan pelatih sepakbola,” seru Raymond. “Bagaimana dengan Anda?” tanyanya tajam akhiri sesi. <>

@ganeshaputera

Tulisan asli dimuat di www.goal.com

 
 
 

Comments


bottom of page